MENCARI keadilan sepertinya gampang-gampang susah. Keadilan laksana sebuah benda yang langka, apalagi bagi kelompok yang merasa tertindas akibat kebijakan para pemangku kepentingan di Indonesia. Misalnya saja Hari Suwandi (44), warga Desa Kedung Bendo, Tanggung Angin, Sidoarjo, Jawa Timur harus berjalan kaki selama 25 hari dari Porong ke Jakarta.
Hari Suwandi adalah salah satu korban lumpur Lapindo yang merasa diperlakukan tidak adil dengan penyelesaian lumpur Lapindo.
Hari Suwandi adalah salah satu korban lumpur Lapindo yang merasa diperlakukan tidak adil dengan penyelesaian lumpur Lapindo.
Foto: merdeka.com |
Dia pun rela berjalan kaki sampai delapan sandal jepit, bahkan setibanya di Jakarta, persisnya di Kantor Kontras, Jakarta pada Minggu (8/7), ia sudah tidak lagi memakai sandal karena putus di perjalanan.
"Nggak punya uang untuk beli lagi," kata Suwandi seperti dikutip detikcom.
Hari Suwandi yang memakai blangkon ditutupi caping tampak lelah. Dia hanya mengenakan celana pendek hitam sambil membawa ransel.
Pada ransel itu terpampang tulisan "6 tahun lumpur panas Lapindo, korban Lapindo Perpres 2007 menuntut dan mencari keadilan penyelesaian haknya. Jalan kaki Porong-Jakarta, 14 Juni 2012.
Tidak tanggung-tanggung, setiap hari dia harus berjalan kaki sepanjang 40 kilometer, kalikan saja selama 25 hari dikurangi setiap ia singgah mencari dukungan sekaligus beristirahat di kota-kota yang ia lewati. Di Jakarta, Suwandi berencana menggelar aksi di Istana Negara dan berharap mendapat respon dari Presiden.
Apa yang dilakukan Suwandi merupakan sebuah ironi di tengah gencarnya penegakan hukum dan keadilan seiring bergulirnya era reformasi.
Sebagai korban lumpur Lapindo, ia mengaku tidak menerima ganti rugi karena desanya tidak termasuk dalam peta yang masuk dalam daerah terkena lumpur.
Jalan kaki, kata dia, merupakan keputusan akhir karena sampai saat ini beluma ada tanggung jawab dari pemerintah terkait tuntutan ganti rugi.
Begitu sulitnya bagi warga yang tertindas untuk mendapatkan keadilan, sementara itu orang berkuasa dengan mudahnya mencari dalih bahwa lumpur yang dihasilkan PT Lapindo Brantas itu adalah bencana alam dan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Badan Pengendalian Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Beberapa elit politik di negeri ini sepertinya sudah tidak mengenal apa itu keadilan, yang ada hanya mengejar kepuasan politik, memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi maupun golongan.
Orang-orang seperti ini tidak segan-segan mengeluarkan uang sampai miliaran rupiah hanya untuk mengejar jabatan dan kekuasaan, kalaupun keluar uang untuk orang tertindas, tidak lain hanyalah untuk tujuan politik semata. Setelah apa yang diinginkan tercapai, mereka lupa karena sibuk dengan upaya agar jabatan, kekayaan dan kekuasaan yang telah dicapai itu bisa langgeng. (rus)
"Nggak punya uang untuk beli lagi," kata Suwandi seperti dikutip detikcom.
Hari Suwandi yang memakai blangkon ditutupi caping tampak lelah. Dia hanya mengenakan celana pendek hitam sambil membawa ransel.
Pada ransel itu terpampang tulisan "6 tahun lumpur panas Lapindo, korban Lapindo Perpres 2007 menuntut dan mencari keadilan penyelesaian haknya. Jalan kaki Porong-Jakarta, 14 Juni 2012.
Tidak tanggung-tanggung, setiap hari dia harus berjalan kaki sepanjang 40 kilometer, kalikan saja selama 25 hari dikurangi setiap ia singgah mencari dukungan sekaligus beristirahat di kota-kota yang ia lewati. Di Jakarta, Suwandi berencana menggelar aksi di Istana Negara dan berharap mendapat respon dari Presiden.
Apa yang dilakukan Suwandi merupakan sebuah ironi di tengah gencarnya penegakan hukum dan keadilan seiring bergulirnya era reformasi.
Sebagai korban lumpur Lapindo, ia mengaku tidak menerima ganti rugi karena desanya tidak termasuk dalam peta yang masuk dalam daerah terkena lumpur.
Jalan kaki, kata dia, merupakan keputusan akhir karena sampai saat ini beluma ada tanggung jawab dari pemerintah terkait tuntutan ganti rugi.
Begitu sulitnya bagi warga yang tertindas untuk mendapatkan keadilan, sementara itu orang berkuasa dengan mudahnya mencari dalih bahwa lumpur yang dihasilkan PT Lapindo Brantas itu adalah bencana alam dan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Badan Pengendalian Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Beberapa elit politik di negeri ini sepertinya sudah tidak mengenal apa itu keadilan, yang ada hanya mengejar kepuasan politik, memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi maupun golongan.
Orang-orang seperti ini tidak segan-segan mengeluarkan uang sampai miliaran rupiah hanya untuk mengejar jabatan dan kekuasaan, kalaupun keluar uang untuk orang tertindas, tidak lain hanyalah untuk tujuan politik semata. Setelah apa yang diinginkan tercapai, mereka lupa karena sibuk dengan upaya agar jabatan, kekayaan dan kekuasaan yang telah dicapai itu bisa langgeng. (rus)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !