KODE etik jurnalistik, sebagai pedoman perilaku dan tata krama bagi pembuatan karya tulis jurnalistik, bukanlah norma yang dapat dirumuskan dengan batasan yang serba hitam-putih. Sama halnya dengan rumusan bagi kebebasan pers di Indonesia --- dan demikian pula rumusan untuk kebebasan berekspresi, tidak dapat diberi batasan yang serba matematis, yang serba pasti dan kaku.
Simaklah, umpamanya, pemahaman majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang "kebenaran berita" dalam karya jurnalistik ketika memproses perkara gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap majalah berita mingguan Time dari Amerika Serikat. Demikian pula pemahaman para hakim tentang makna "kepentingan umum"---- yang merupakan tujuan paling penting bagi kehadiran pers yang merdeka.
Majelis hakim, yang diketuai Sihol Sitompul, ketika membacakan putusan perkara itu pada 6 Juni 2000, mengatakan bahwa berita utama (cover story) majalah Time edisi Asia 24 Juni 2000, berjudul "Soeharto Inc.", sudah memenuhi tuntutan kode etik jurnalistik yang mensyaratkan objektivitas dan keberimbangan.
Para hakim itu juga berpendapat bahwa pemberitaan pers tidak harus diartikan mengandung kebenaran mutlak. "Kebenaran pers" sering bergantung pada akurasi keterangan yang diberikan oleh narasumbernya. Oleh karena itu, kata para hakim, "wartawan atau media tidak bertanggung jawab atas kebenaran berita yang diperolehnya dari sumber berita yang jelas," dan "yang bertanggung jawab atas kebenaran berita adalah sumber berita itu sendiri."
Walaupun demikian, kata majelis hakim, berita itu mungkin tetap perlu disiarkan demi kepentingan umum, lebih-lebih bila menyangkut seorang tokoh publik yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Umpamanya, masyarakat perlu mengetahui kebenaran di balik tuduhan bahwa Soeharto selama 32 tahun masa pemerintahannya telah menyalahgunakan kekuasaan dan, bersama keluarganya, terlibat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.
Para hakim menegaskan bahwa tokoh publik, seperti mantan presiden Soeharto, "harus terbuka untuk menerima penilaian dari masyarakat." Media massa, kata mereka, "biasanya merupakan saluran yang paling relevan" untuk mewakili masyarakat karena memiliki "ciri yang disebut publisitas, terbuka untuk umum."
Hakim-hakim itu mengatakan bahwa "tugas pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme tidak akan mungkin tercapai apabila tidak didukung oleh peran serta masyarakat, terutama dunia pers, dengan memberikan informasi." Informasi itu dapat berupa dugaan adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, terutama, oleh pejabat negara, keluarganya dan kroninya.
Pemahaman para hakim mengenai karya jurnalistik dan etika pers juga ditunjukkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Hutomo (Tommy) Mandala Putra, anak bungsu mantan Presiden Soeharto, terhadap laporan majalah berita minggu Gatra di Jakarta edisi 17 Oktober 1998.
Dalam putusan untuk kasus ini, yang dibacakan 30 Juni 1999, majelis hakim yang diketuai I Made Karna mengingatkan bahwa kode etik jurnalistik memungkinkan penggugat untuk mengajukan keberatan tentang pemberitaan langsung kepada Gatra, sehingga "wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat dan memberikan kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau objek berita."
Malahan, majelis hakim lebih jauh merinci pula kelaziman cara pemuatan atau penyiaran hak jawab dalam media pers, baik media cetak maupun siaran (radio dan televisi), dengan mengatakan: "Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan. Hak jawab dimuat pada halaman yang sama atau ditempatkan pada letak yang menarik perhatian, maksimum sepanjang berita yang dipertanyakan atau dipersoalkan. Penyiaran hak jawab wajib dilakukan segera oleh media siaran, jika perlu berulang."
Apa arti penggunaan hak jawab?
Para hakim agung dari Mahkamah Agung dalam putusan kasasi, yang dikeluarkan 28 April 1993, mengutip kelaziman penggunaan hak jawab bagi seorang atau sekelompok anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media.
Pendapat ini dikemukakan dalam perkara gugatan Anif, Direktur utama PT Anugerah Langkat Makmur, terhadap surat kabar Garuda di Medan. Anif merasa nama baiknya, dan juga nama baik perusahaannya, dicemarkan oleh pemberitan harian itu pada edisi 14 November 1989. Garuda memberitakan perusahaan Anif telah melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat.
Dalam sidang yang diketuai oleh M Yahya Harahap, hakim-hakim agung itu mencatat: "Sekiranya penggugat asal (Anif) merasa pemberitaan itu tidak benar, kepada penggugat asal terbuka pintu lebar-lebar untuk mempergunakan hak jawab. Namun, ternyata hak itu tidak dipergunakan penggugat, sehingga memberi kesimpulan, apa yang diberitakan para tergugat asal (Garuda serta para pengelola dan yayasan penerbit surat kabar itu) mengandung kebenaran atau, paling tidak mempunyai nilai estimasi."
Tujuan penggunaan hak jawab, kata hakim-hakim agung itu, adalah, "agar kebebasan pers yang sejalan dengan tanggung jawab pers." Ditambahkannya bahwa "kebebasan pers harus diseimbangkan secara harmonis dengan tanggung jawab pemberitaan yang dapat menjamin perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat luas."
Para hakim agung itu juga mengingatkan bahwa apa yang dianggap sebagai "kebenaran" dalam pemberitaan media pers bukanlah "kebenaran mutlak". Pandangan para hakim ini kelak, tujuh tahun kemudian, terpapar lagi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada awal Juni 2000 dalam perkara gugatan mantan presiden Soeharto terhadap majalah Time.
Hakim-hakim agung itu berpendapat" "Sebagaimana yang diakui semua pihak, kebenaran suatu peristiwa yang hendak diberitahukan pers pada hakikatnya merupakan suatu kebenaran yang elusive. Artinya, suatu berita yang dicari dan ditemukan untuk diberitakan sukar dipegang kebenarannya. Tidak ubahnya seperti seekor belut. Terkadang tidak bisa diketahui dimana sesungguhnya suatu kebenaran berita. Kebenaran yang hendak diberitakan lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain.
"Bahwa berhadapan dengan kenyataan kebenaran yang elusive dimaksud, apa yang hendak ditulis dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran yang absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir.
"Lagi pula, tidak mungkin dijumpai kebenaran absolut, apalagi dalam kehidupan masyarakat pluralistik dengan berbagai kepentingan yang sangat majemuk. Dan, secara asasi, masing-masing pihak mempunyai hak untuk berbeda pendapat, sehingga pihak pers dalam melancarkan hak mengadakan kontrol, kritik, dan koreksi bisa saja berbeda pendapat dengan pihak lain.
"Hal yang seperti itu merupakan wujud demokrasi dan keterbukaan. Yang dituntut ialah kebenaran berita atau ulasan yang mempunyai sumber yang jelas, meskipun disadari adanya kemungkinan perbedaan pendapat antara pihak yang terkena pemberitaan dengan pihak pers yang memberitakan."
Kata-kata para hakim agung ini mencerminkan suatu tinjauan umum tentang makna kebebasan dan tanggung jawab pers yang mengandung pandangan jauh ke depan. Pendapat ini dikemukakan lima tahun sebelum kejatuhan Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 12 Mei 1998, pada masa ketika cita-cita menghidupkan kembali dan membangun kebebasan pers di Indonesia masih merupakan impian belaka. ***
Simaklah, umpamanya, pemahaman majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang "kebenaran berita" dalam karya jurnalistik ketika memproses perkara gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap majalah berita mingguan Time dari Amerika Serikat. Demikian pula pemahaman para hakim tentang makna "kepentingan umum"---- yang merupakan tujuan paling penting bagi kehadiran pers yang merdeka.
Majelis hakim, yang diketuai Sihol Sitompul, ketika membacakan putusan perkara itu pada 6 Juni 2000, mengatakan bahwa berita utama (cover story) majalah Time edisi Asia 24 Juni 2000, berjudul "Soeharto Inc.", sudah memenuhi tuntutan kode etik jurnalistik yang mensyaratkan objektivitas dan keberimbangan.
Para hakim itu juga berpendapat bahwa pemberitaan pers tidak harus diartikan mengandung kebenaran mutlak. "Kebenaran pers" sering bergantung pada akurasi keterangan yang diberikan oleh narasumbernya. Oleh karena itu, kata para hakim, "wartawan atau media tidak bertanggung jawab atas kebenaran berita yang diperolehnya dari sumber berita yang jelas," dan "yang bertanggung jawab atas kebenaran berita adalah sumber berita itu sendiri."
Walaupun demikian, kata majelis hakim, berita itu mungkin tetap perlu disiarkan demi kepentingan umum, lebih-lebih bila menyangkut seorang tokoh publik yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Umpamanya, masyarakat perlu mengetahui kebenaran di balik tuduhan bahwa Soeharto selama 32 tahun masa pemerintahannya telah menyalahgunakan kekuasaan dan, bersama keluarganya, terlibat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.
Para hakim menegaskan bahwa tokoh publik, seperti mantan presiden Soeharto, "harus terbuka untuk menerima penilaian dari masyarakat." Media massa, kata mereka, "biasanya merupakan saluran yang paling relevan" untuk mewakili masyarakat karena memiliki "ciri yang disebut publisitas, terbuka untuk umum."
Hakim-hakim itu mengatakan bahwa "tugas pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme tidak akan mungkin tercapai apabila tidak didukung oleh peran serta masyarakat, terutama dunia pers, dengan memberikan informasi." Informasi itu dapat berupa dugaan adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, terutama, oleh pejabat negara, keluarganya dan kroninya.
Pemahaman para hakim mengenai karya jurnalistik dan etika pers juga ditunjukkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Hutomo (Tommy) Mandala Putra, anak bungsu mantan Presiden Soeharto, terhadap laporan majalah berita minggu Gatra di Jakarta edisi 17 Oktober 1998.
Dalam putusan untuk kasus ini, yang dibacakan 30 Juni 1999, majelis hakim yang diketuai I Made Karna mengingatkan bahwa kode etik jurnalistik memungkinkan penggugat untuk mengajukan keberatan tentang pemberitaan langsung kepada Gatra, sehingga "wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat dan memberikan kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau objek berita."
Malahan, majelis hakim lebih jauh merinci pula kelaziman cara pemuatan atau penyiaran hak jawab dalam media pers, baik media cetak maupun siaran (radio dan televisi), dengan mengatakan: "Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan. Hak jawab dimuat pada halaman yang sama atau ditempatkan pada letak yang menarik perhatian, maksimum sepanjang berita yang dipertanyakan atau dipersoalkan. Penyiaran hak jawab wajib dilakukan segera oleh media siaran, jika perlu berulang."
Apa arti penggunaan hak jawab?
Para hakim agung dari Mahkamah Agung dalam putusan kasasi, yang dikeluarkan 28 April 1993, mengutip kelaziman penggunaan hak jawab bagi seorang atau sekelompok anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media.
Pendapat ini dikemukakan dalam perkara gugatan Anif, Direktur utama PT Anugerah Langkat Makmur, terhadap surat kabar Garuda di Medan. Anif merasa nama baiknya, dan juga nama baik perusahaannya, dicemarkan oleh pemberitan harian itu pada edisi 14 November 1989. Garuda memberitakan perusahaan Anif telah melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat.
Dalam sidang yang diketuai oleh M Yahya Harahap, hakim-hakim agung itu mencatat: "Sekiranya penggugat asal (Anif) merasa pemberitaan itu tidak benar, kepada penggugat asal terbuka pintu lebar-lebar untuk mempergunakan hak jawab. Namun, ternyata hak itu tidak dipergunakan penggugat, sehingga memberi kesimpulan, apa yang diberitakan para tergugat asal (Garuda serta para pengelola dan yayasan penerbit surat kabar itu) mengandung kebenaran atau, paling tidak mempunyai nilai estimasi."
Tujuan penggunaan hak jawab, kata hakim-hakim agung itu, adalah, "agar kebebasan pers yang sejalan dengan tanggung jawab pers." Ditambahkannya bahwa "kebebasan pers harus diseimbangkan secara harmonis dengan tanggung jawab pemberitaan yang dapat menjamin perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat luas."
Para hakim agung itu juga mengingatkan bahwa apa yang dianggap sebagai "kebenaran" dalam pemberitaan media pers bukanlah "kebenaran mutlak". Pandangan para hakim ini kelak, tujuh tahun kemudian, terpapar lagi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada awal Juni 2000 dalam perkara gugatan mantan presiden Soeharto terhadap majalah Time.
Hakim-hakim agung itu berpendapat" "Sebagaimana yang diakui semua pihak, kebenaran suatu peristiwa yang hendak diberitahukan pers pada hakikatnya merupakan suatu kebenaran yang elusive. Artinya, suatu berita yang dicari dan ditemukan untuk diberitakan sukar dipegang kebenarannya. Tidak ubahnya seperti seekor belut. Terkadang tidak bisa diketahui dimana sesungguhnya suatu kebenaran berita. Kebenaran yang hendak diberitakan lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain.
"Bahwa berhadapan dengan kenyataan kebenaran yang elusive dimaksud, apa yang hendak ditulis dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran yang absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir.
"Lagi pula, tidak mungkin dijumpai kebenaran absolut, apalagi dalam kehidupan masyarakat pluralistik dengan berbagai kepentingan yang sangat majemuk. Dan, secara asasi, masing-masing pihak mempunyai hak untuk berbeda pendapat, sehingga pihak pers dalam melancarkan hak mengadakan kontrol, kritik, dan koreksi bisa saja berbeda pendapat dengan pihak lain.
"Hal yang seperti itu merupakan wujud demokrasi dan keterbukaan. Yang dituntut ialah kebenaran berita atau ulasan yang mempunyai sumber yang jelas, meskipun disadari adanya kemungkinan perbedaan pendapat antara pihak yang terkena pemberitaan dengan pihak pers yang memberitakan."
Kata-kata para hakim agung ini mencerminkan suatu tinjauan umum tentang makna kebebasan dan tanggung jawab pers yang mengandung pandangan jauh ke depan. Pendapat ini dikemukakan lima tahun sebelum kejatuhan Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 12 Mei 1998, pada masa ketika cita-cita menghidupkan kembali dan membangun kebebasan pers di Indonesia masih merupakan impian belaka. ***
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !