Anggota DPR dan aktivis mendesak proses pidana di pengadilan umum untuk tentara tersangka pelaku penyerangan Mapolres OKU, Sumatera Selatan.
Beberapa pihak mendesak revisi undang-undang mengenai peradilan militer. (Foto: Dok) |
Jakarta (Jurnal) - Komando Daerah Militer II/Sriwijaya telah menetapkan enam anggotanya sebagai tersangka dalam insiden penyerangan, perusakan dan penganiayaan di kantor Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu (OKU) dan Kepolisian Sektor Martapura, Sumatera Selatan.
Panglima Komando Daerah Militer II/Sriwijaya Mayjen Nugroho Widyotomo mengatakan tersangka pelaku penyerangan kemungkinan akan terus bertambah karena banyaknya pelaku penyerangan saat kejadian.
“Keseluruhan yang diperiksa untuk sementara ada enam orang, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Dari enam orang itu, dua orang berkasnya diserahkan ke oditur militer. Kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah,” ujarnya pada saat pengumuman penetapan tersangka Rabu malam (13/3).
Nugroho menambahkan, semula pihaknya memeriksa 30 personel Batalyon Armed 76/15 Martapura, yang diduga sebagai pelaku penyerangan kantor polres Ogan Komering Ulu dan kantor polsek Martapura. Namun, menurutnya, hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa dia ntara personel yang diperiksa tersebut tidak terlibat dalam insiden Kamis pekan lalu.
Enam personel TNI yang ditetapkan sebagai tersangka, tambah Nugroho, terdiri dari tamtama, bintara dan satu perwira.
Sementara itu, Eva Sundari dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat -- yang membidangi hukum, perundang-undangan, hak asasi manusia dan keamanan – mengatakan pelaku penyerangan kantor polisi Sumatera Selatan tersebut harus
menjalani proses peradilan umum, karena adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.
Ia mengatakan pemerintah hingga saat ini terkesan enggan menuntaskan rancangan undang-undang peradilan militer, sehingga pada akhirnya anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan tindak pidana, tidak dapat diproses di peradilan umum.
“Penolakan atau boikot dari pemerintah untuk menuntaskan rancangan undang-undang peradilan militer itu sebagai pokok masalah. Kita tidak sedang berperang, tetapi semua tindak pidana yang dilakukan oknum TNI, tidak mau diproses dalam peradilan umum. Jadi kayak kasus perampokan, dan sekarang pembakaran, itu membuat semacam arogansi dari kelompok TNI ini,” ujarnya.
Senada dengan Eva, praktisi hukum yang juga ketua lembaga advokasi HAM Setara Institute, Hendardi, mengatakan pemerintah bersama DPR harus segera merevisi Undang-Undang No. 31/1997 tentang peradilan militer. Undang-undang itu, menurut Hendardi, menjadi sesuatu yang istimewa bagi anggota TNI.
“Ini memang problematika hukum kita. Bahwa sekalipun sudah ada pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi di dalam persoalan hukum, asasnya itu kesamaan di bidang hukum bagi setiap warga negara. Jadi mau dia tentara atau warga negara biasa seharusnya ketika dia melakukan tindak pidana, ya polisi-lah yang harus melakukan proses hukum itu. Itu yang berlaku di negara-negara demokrasi,” ujar Hendardi.
“UU No. 31/1997 itu harus direvisi dan melemparkan seluruh kasus pidana yang dilakukan seorang tentara ke peradilan umum. Undang-undang itu selama ini telah memberikan tempat yang istimewa buat TNI.”
Aksi penyerbuan Polres Ogan Komering Ulu dan Polsek Martapura, terjadi pada Kamis (7/3) lalu. Anggota TNI Batalyon Armed 76/15 Martapura yang berjumlah 90-an orang, datang dengan menggunakan sepeda motor dan mengenakan seragam loreng. Mereka datang ke kantor Polres itu untuk menanyakan perkembangan kasus penembakan Pratu Heru Oktavianus, yang ditembak mati anggota Polres Ogan Komering Ulu, Brigadir Polisi Wijaya, pada akhir Januari 2013 lalu, terkait kasus pelanggaran lalu lintas.
Selain menyerang dan membakar kantor polres dan polsek, puluhan anggota TNI itu juga membakar mobil patroli polisi. Dalam kejadian ini empat orang polisi dan seorang warga sipil menderita luka-luka.
VoA untuk jurnalterkini
Panglima Komando Daerah Militer II/Sriwijaya Mayjen Nugroho Widyotomo mengatakan tersangka pelaku penyerangan kemungkinan akan terus bertambah karena banyaknya pelaku penyerangan saat kejadian.
“Keseluruhan yang diperiksa untuk sementara ada enam orang, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Dari enam orang itu, dua orang berkasnya diserahkan ke oditur militer. Kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah,” ujarnya pada saat pengumuman penetapan tersangka Rabu malam (13/3).
Nugroho menambahkan, semula pihaknya memeriksa 30 personel Batalyon Armed 76/15 Martapura, yang diduga sebagai pelaku penyerangan kantor polres Ogan Komering Ulu dan kantor polsek Martapura. Namun, menurutnya, hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa dia ntara personel yang diperiksa tersebut tidak terlibat dalam insiden Kamis pekan lalu.
Enam personel TNI yang ditetapkan sebagai tersangka, tambah Nugroho, terdiri dari tamtama, bintara dan satu perwira.
Sementara itu, Eva Sundari dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat -- yang membidangi hukum, perundang-undangan, hak asasi manusia dan keamanan – mengatakan pelaku penyerangan kantor polisi Sumatera Selatan tersebut harus
menjalani proses peradilan umum, karena adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.
Ia mengatakan pemerintah hingga saat ini terkesan enggan menuntaskan rancangan undang-undang peradilan militer, sehingga pada akhirnya anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan tindak pidana, tidak dapat diproses di peradilan umum.
“Penolakan atau boikot dari pemerintah untuk menuntaskan rancangan undang-undang peradilan militer itu sebagai pokok masalah. Kita tidak sedang berperang, tetapi semua tindak pidana yang dilakukan oknum TNI, tidak mau diproses dalam peradilan umum. Jadi kayak kasus perampokan, dan sekarang pembakaran, itu membuat semacam arogansi dari kelompok TNI ini,” ujarnya.
Senada dengan Eva, praktisi hukum yang juga ketua lembaga advokasi HAM Setara Institute, Hendardi, mengatakan pemerintah bersama DPR harus segera merevisi Undang-Undang No. 31/1997 tentang peradilan militer. Undang-undang itu, menurut Hendardi, menjadi sesuatu yang istimewa bagi anggota TNI.
“Ini memang problematika hukum kita. Bahwa sekalipun sudah ada pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi di dalam persoalan hukum, asasnya itu kesamaan di bidang hukum bagi setiap warga negara. Jadi mau dia tentara atau warga negara biasa seharusnya ketika dia melakukan tindak pidana, ya polisi-lah yang harus melakukan proses hukum itu. Itu yang berlaku di negara-negara demokrasi,” ujar Hendardi.
“UU No. 31/1997 itu harus direvisi dan melemparkan seluruh kasus pidana yang dilakukan seorang tentara ke peradilan umum. Undang-undang itu selama ini telah memberikan tempat yang istimewa buat TNI.”
Aksi penyerbuan Polres Ogan Komering Ulu dan Polsek Martapura, terjadi pada Kamis (7/3) lalu. Anggota TNI Batalyon Armed 76/15 Martapura yang berjumlah 90-an orang, datang dengan menggunakan sepeda motor dan mengenakan seragam loreng. Mereka datang ke kantor Polres itu untuk menanyakan perkembangan kasus penembakan Pratu Heru Oktavianus, yang ditembak mati anggota Polres Ogan Komering Ulu, Brigadir Polisi Wijaya, pada akhir Januari 2013 lalu, terkait kasus pelanggaran lalu lintas.
Selain menyerang dan membakar kantor polres dan polsek, puluhan anggota TNI itu juga membakar mobil patroli polisi. Dalam kejadian ini empat orang polisi dan seorang warga sipil menderita luka-luka.
VoA untuk jurnalterkini
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !