Sekretaris Komisi II DPRD Meranti HM Adil SH |
Meranti, Riau (Jurnal) - Pembangunan Proyek Jembatan Selat Rengit (JSR) yang ditargetkan selama tiga tahun dengan biaya ditaksir sebesar Rp467 miliar dinilai masih menyisakan berbagai persoalan, di antaranya soal banyaknya kelengkapan legitimasi hukum yang belum dimiliki.
Selain pesoalan terlalu besarnya alokasi anggaran melalui APBD Meranti per tahunnya yang terkuras dan dihabiskan hanya untuk satu pembiayaan proyek tahun jamak yaitu proyek JSR dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang terbentuknya daerah otonom baru dan UU No12 tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti, dimana dalam melaksanakan pembangunan yang dibiayai oleh uang negara harus adil dan merata.
"Pastinya masih banyak sekali persoalan yang sangat vital. Dan seharusnya dijadikan alasan untuk tidak memaksakan kehendak untuk tetap ngotot memaksakan proyek jembatan ini," ungkap Politisi Partai Hanura HM Adil SH kepada wartawan media ini, Rabu (3/4) di Gedung DPRD Meranti, Jalan Dorak, Selatpanjang.
Akibat pelaksanaan proyek tidak didasari kepentingan bersama, dan lebih tepat proyek tersebut dijuluki sebagai proyek yang menghabiskan uang rakyat, dan manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung.
"Dapat kita lihat, proyek JSR jilid satu yang pagu anggaramnya mencapai Rp125 miliar karena tanpa dukungan dana dari pihak pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Meskipun pihak rekanan kontraktor yaitu PT Nindya Karya dan PT Receas sudah mencairkan uang sebesar Rp67 miliar dari total anggaran Rp125 miliar. Alangkah naif dan ironisnya ternyata pencapaian kerja atau progres pekerjaan terhadap proyek sangat tidak jelas hasilnya," tutur Adil.
Sekretaris Komisi II DPRD Meranti itu mengatakan, lebih ironisnya, setelah dengan mudahnya pihak rekanan bisa menarik dana sebesar Rp67 miliar, ditambah oleh konsultan pengawas yang juga mencairkan ratusan juta tanpa kerja di lapangan karena proyek tidak jelas.
Sayangnya, pembiayaan proyek multiyears tahap kedua pada 2013 ini, mendapat kucuran dana yang jumlahnya lebih besar dari anggaran tahun lalu (jilid satu), dimana tahap kedua ini proyek JSR yang belum jelas dimana lokasi pengerjaan proyeknya, mendapat kucuran dana sebesar Rp225 miliar.
"Alhasil volume pengerjaan proyek tahun ini jauh berkurang dibandingkan tahun lalu, tragisnya lagi,demi memenuhi nafsu pihak-pihak yang berkepentingan,undang-undang tentang peningkatan kualitas pendidikan,dan peningkatan sarana dan tingkat ksehatan,tanpa merasa berdosa mereka langgar,sehingga alokasi anggaran APBD meranti tahun 2013 untuk peningkatan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat jumlahyang dianggarkan jauh berkurang dan dibawah jumlah standar yang ditetapkan oleh undang-undang," tuturnya.
Di mana tahun 2013 ini untuk alokasi peningkatan kualitas SDM di bidang peningkatan pendidikan, yang bersumber dari APBD, anggarannya yang dikucurkan hanya 16,5 persen dari total APBD, begitu juga alokasi dana peningkatan kesehatan masyarakat, tahun ini untuk kesehatan hanya sekitar 6-7 persen.
"Jadi jangan heran jika nantinya banyak rekanan yang tidak dapat proyek,dan kegiatan pembangunan diberbagai wilayah,alami penurunqan volumenya," ujarnya.
Bahkan, kata dia lagi, sampai saat ini berbagai dokumen perizinan dan persetujuan pembangunan JSR dari pusat, meskipun pengerjaannya sudah memasuki tahap kedua dari tiga tahap yang direncanakan, ternyata belum ada kejelasanya.
Sehingga sangat ironis sekali proyek ratusan milyar tersebut,sampai detik ini lokasi pengerjaanya harus berpindah-pindah tempat,akibat lahan yang akan digunakan belum ada kejalasan,akibat izin persetujuan pemanfaatan lahan ditolak menhut,yang saat ini posisisnya masih menunggu persetujuan dari gubri.
Menurut Adil, berbagai dokumen perizinan pembangunan JSR, hingga kini belum jelas karena belum mereka dapatkan guna dijadikan landasan hukum dilaksanakannya kegiatan proyek tersebut.
Tidak hanya dari pihak Kementerian PU, Kementrian Perhubungan dan Kementerian Keuangan, tapi juga persoalan izin pemanfaatan lahan yang belum diterbitkan oleh Gubernur Riau setelah ditolak oleh Menhut.
"Sampai saat ini, persoalan perizinan pelepasan kawasan pembangunan JSR dari pihak Kementerian Kehutanan jelas-jelas ditolak dan berharap mendapatkan izin persetujuan dari Gubri. Kalau berbagai dokumen hukum itu pengerjaanya tahun ini memasuki tahap kedua tapi legitimasi hukumnya tidak ada,Ini dikhawatirkan nantinya akan jadi persoalan. Kita tidak mau, kasus pembangunan kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api terjadi di Meranti," ungkap Adil.
Apa pun persoalannya, tambah Adil, ini penting. Karena izin pelepasan kawasan dari kementerian terkait merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Munculnya polemik pembangunan JSR ini, lanjut Adil, harus disikapi secara arif dan bijak oleh Pemkab Meranti. Polemik ini bukan hanya persoalan setuju atau tidak setuju terkait besarnya alokasi anggaran yang digelontorkan.
Persoalan lain yang harus dijadikan pertimbangan adalah menyangkut aspek perizinan yang menjadi salah satu rujukan dan persyaratan pembangunan jembatan itu sendiri.
"Hal ini dimaksudkan agar alokasi angaran yang digelontorkan tidak sia-sia. Untuk itu, sesuai dengan tupoksi kinerja dewan, Komisi II tetap meminta agar Pemkab Meranti segara menyelesaikan berbagai domumen persyaratan terkait perizinan pembangunan JSR itu," desak Adil.
Menurutnya, Komisi II tetap menagih progres report pembangunan JSR, apalagi pencairan dana anggaran awal pembangunan JSR sebesar Rp125 miliar yang dianggarkan tahun 2012 lalu sudah dialokasikan ke pihak renakan.
"Bagaimanapun juga ini menyangkut pertanggung jawaban penggunanan anggaran dan uang Negara. Kita tidak ingin persolan ini berujung ke ranah hukum nantinya," beber Adil.
Ajukan ke Gubri
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti, Makmun Murod menegaskan terkait izin pelepasan kawasan pembangunan JSR memang sudah diajukan ke Kementerian Kehutanan.
Bahkan pihak Kementrian Kehutanan RI sudah mengeluarkan surat rekomendasi terkait persoalan tersebut. Berdasarkan surat dari Kementrian Kehutanan RI nomor 14/VII/PKH/2012, tertanggal 7 Desember 2012 tentang Petunjuk Pelaksaanaan Pinjam Pakai kawasan hutan dialihkan dari Kementrian Kehutanan kepada Gubernur.
"Terkait soal perizinan kawasan JSR sudah tidak ada masalah. Saat ini kita sudah berupaya mengajukan surat izin rekomendasi dari Gubri untuk kepentingan pembangunan JSR tersebut. Luas lahan yang dibutuhkan 5 hektare," tandas Makmun Murod. (isk/def)
Selain pesoalan terlalu besarnya alokasi anggaran melalui APBD Meranti per tahunnya yang terkuras dan dihabiskan hanya untuk satu pembiayaan proyek tahun jamak yaitu proyek JSR dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang terbentuknya daerah otonom baru dan UU No12 tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti, dimana dalam melaksanakan pembangunan yang dibiayai oleh uang negara harus adil dan merata.
"Pastinya masih banyak sekali persoalan yang sangat vital. Dan seharusnya dijadikan alasan untuk tidak memaksakan kehendak untuk tetap ngotot memaksakan proyek jembatan ini," ungkap Politisi Partai Hanura HM Adil SH kepada wartawan media ini, Rabu (3/4) di Gedung DPRD Meranti, Jalan Dorak, Selatpanjang.
Akibat pelaksanaan proyek tidak didasari kepentingan bersama, dan lebih tepat proyek tersebut dijuluki sebagai proyek yang menghabiskan uang rakyat, dan manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung.
"Dapat kita lihat, proyek JSR jilid satu yang pagu anggaramnya mencapai Rp125 miliar karena tanpa dukungan dana dari pihak pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Meskipun pihak rekanan kontraktor yaitu PT Nindya Karya dan PT Receas sudah mencairkan uang sebesar Rp67 miliar dari total anggaran Rp125 miliar. Alangkah naif dan ironisnya ternyata pencapaian kerja atau progres pekerjaan terhadap proyek sangat tidak jelas hasilnya," tutur Adil.
Sekretaris Komisi II DPRD Meranti itu mengatakan, lebih ironisnya, setelah dengan mudahnya pihak rekanan bisa menarik dana sebesar Rp67 miliar, ditambah oleh konsultan pengawas yang juga mencairkan ratusan juta tanpa kerja di lapangan karena proyek tidak jelas.
Sayangnya, pembiayaan proyek multiyears tahap kedua pada 2013 ini, mendapat kucuran dana yang jumlahnya lebih besar dari anggaran tahun lalu (jilid satu), dimana tahap kedua ini proyek JSR yang belum jelas dimana lokasi pengerjaan proyeknya, mendapat kucuran dana sebesar Rp225 miliar.
"Alhasil volume pengerjaan proyek tahun ini jauh berkurang dibandingkan tahun lalu, tragisnya lagi,demi memenuhi nafsu pihak-pihak yang berkepentingan,undang-undang tentang peningkatan kualitas pendidikan,dan peningkatan sarana dan tingkat ksehatan,tanpa merasa berdosa mereka langgar,sehingga alokasi anggaran APBD meranti tahun 2013 untuk peningkatan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat jumlahyang dianggarkan jauh berkurang dan dibawah jumlah standar yang ditetapkan oleh undang-undang," tuturnya.
Di mana tahun 2013 ini untuk alokasi peningkatan kualitas SDM di bidang peningkatan pendidikan, yang bersumber dari APBD, anggarannya yang dikucurkan hanya 16,5 persen dari total APBD, begitu juga alokasi dana peningkatan kesehatan masyarakat, tahun ini untuk kesehatan hanya sekitar 6-7 persen.
"Jadi jangan heran jika nantinya banyak rekanan yang tidak dapat proyek,dan kegiatan pembangunan diberbagai wilayah,alami penurunqan volumenya," ujarnya.
Bahkan, kata dia lagi, sampai saat ini berbagai dokumen perizinan dan persetujuan pembangunan JSR dari pusat, meskipun pengerjaannya sudah memasuki tahap kedua dari tiga tahap yang direncanakan, ternyata belum ada kejelasanya.
Sehingga sangat ironis sekali proyek ratusan milyar tersebut,sampai detik ini lokasi pengerjaanya harus berpindah-pindah tempat,akibat lahan yang akan digunakan belum ada kejalasan,akibat izin persetujuan pemanfaatan lahan ditolak menhut,yang saat ini posisisnya masih menunggu persetujuan dari gubri.
Menurut Adil, berbagai dokumen perizinan pembangunan JSR, hingga kini belum jelas karena belum mereka dapatkan guna dijadikan landasan hukum dilaksanakannya kegiatan proyek tersebut.
Tidak hanya dari pihak Kementerian PU, Kementrian Perhubungan dan Kementerian Keuangan, tapi juga persoalan izin pemanfaatan lahan yang belum diterbitkan oleh Gubernur Riau setelah ditolak oleh Menhut.
"Sampai saat ini, persoalan perizinan pelepasan kawasan pembangunan JSR dari pihak Kementerian Kehutanan jelas-jelas ditolak dan berharap mendapatkan izin persetujuan dari Gubri. Kalau berbagai dokumen hukum itu pengerjaanya tahun ini memasuki tahap kedua tapi legitimasi hukumnya tidak ada,Ini dikhawatirkan nantinya akan jadi persoalan. Kita tidak mau, kasus pembangunan kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api terjadi di Meranti," ungkap Adil.
Apa pun persoalannya, tambah Adil, ini penting. Karena izin pelepasan kawasan dari kementerian terkait merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Munculnya polemik pembangunan JSR ini, lanjut Adil, harus disikapi secara arif dan bijak oleh Pemkab Meranti. Polemik ini bukan hanya persoalan setuju atau tidak setuju terkait besarnya alokasi anggaran yang digelontorkan.
Persoalan lain yang harus dijadikan pertimbangan adalah menyangkut aspek perizinan yang menjadi salah satu rujukan dan persyaratan pembangunan jembatan itu sendiri.
"Hal ini dimaksudkan agar alokasi angaran yang digelontorkan tidak sia-sia. Untuk itu, sesuai dengan tupoksi kinerja dewan, Komisi II tetap meminta agar Pemkab Meranti segara menyelesaikan berbagai domumen persyaratan terkait perizinan pembangunan JSR itu," desak Adil.
Menurutnya, Komisi II tetap menagih progres report pembangunan JSR, apalagi pencairan dana anggaran awal pembangunan JSR sebesar Rp125 miliar yang dianggarkan tahun 2012 lalu sudah dialokasikan ke pihak renakan.
"Bagaimanapun juga ini menyangkut pertanggung jawaban penggunanan anggaran dan uang Negara. Kita tidak ingin persolan ini berujung ke ranah hukum nantinya," beber Adil.
Ajukan ke Gubri
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti, Makmun Murod menegaskan terkait izin pelepasan kawasan pembangunan JSR memang sudah diajukan ke Kementerian Kehutanan.
Bahkan pihak Kementrian Kehutanan RI sudah mengeluarkan surat rekomendasi terkait persoalan tersebut. Berdasarkan surat dari Kementrian Kehutanan RI nomor 14/VII/PKH/2012, tertanggal 7 Desember 2012 tentang Petunjuk Pelaksaanaan Pinjam Pakai kawasan hutan dialihkan dari Kementrian Kehutanan kepada Gubernur.
"Terkait soal perizinan kawasan JSR sudah tidak ada masalah. Saat ini kita sudah berupaya mengajukan surat izin rekomendasi dari Gubri untuk kepentingan pembangunan JSR tersebut. Luas lahan yang dibutuhkan 5 hektare," tandas Makmun Murod. (isk/def)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !